Tinjauan Hukum Outsourcing

Menurut Pasal 1601 b KUH Perdata, outsoucing disamakan dengan perjanjian pemborongan pekerjaan. Sehingga pengertian outsourcing adalah suatu perjanjian dimana pemborong mengikat diri untuk membuat suatu kerja tertentu bagi pihak lain yang memborongkan dengan menerima bayaran tertentu dan pihak yang lain yang memborongkan mengikatkan diri untuk memborongkan pekerjaan kepada pihak pemborong dengan bayaran tertentu. [1]

Outsourcing berasal dari kata out yang berarti keluar dan source yang berarti sumber. Dari pengertian-pengertian di atas maka dapat ditarik suatu definisi operasional mengenai outsourcing yaitu suatu bentuk perjanjian kerja antara perusahaan A sebagai pengguna jasa dengan perusahaan B sebagai penyedia jasa, dimana perusahaan A meminta kepada perusahaan B untuk menyediakan tenaga kerja yang diperlukan untuk bekerja di perusahaan A dengan membayar sejumlah uang dan upah atau gaji tetap dibayarkan oleh perusahaan B.

Fenomena alih daya ini menjadi masalah ketika ditelusuri bahwa aturan yang ada belum cukup jelas untuk mengatur masalah batasan-batasan outsourcing itu sendiri. Harus diketahui oleh perusahaan yang akan menggunakan tenaga kerja oursourcing bagaimana batasan dan kapan harus menggunakannya.

Pengaturan Outsourcing (Alih Daya) dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

UU No.13/2003 yang menyangkut outsourcing (Alih Daya) adalah pasal 64, pasal 65 (terdiri dari 9 ayat), dan pasal 66 (terdiri dari 4 ayat).

Pasal 64

Perusahaan   dapat   menyerahkan   sebagian   pelaksanaan   pekerjaan   kepada   perusahaan lainnya  melalui  perjanjian  pemborongan  pekerjaan  atau  penyediaan  jasa  pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.

Pasal 65

(1) Penyerahan   sebagian   pelaksanaan   pekerjaan   kepada   perusahaan   lain   dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis.

(2) Pekerjaan   yang   dapat   diserahkan   kepada   perusahaan   lain   sebagaimana   dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a.  dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;

b.  dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;

c.  merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan

d.  tidak menghambat proses produksi secara langsung.

(2) Perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus berbentuk badan hukum.

(3) Perlindungan  kerja  dan  syarat-syarat  kerja  bagi  pekerja/buruh  pada  perusahaan  lain sebagaimana     dimaksud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan  kerja  dan  syarat-syarat  kerja  pada  perusahaan  pemberi  pekerjaan  atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(4) Perubahan  dan/atau  penambahan  syarat-syarat  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (2) diatur lebih lanjut      dengan Keputusan Menteri.

(5) Hubungan  kerja  dalam  pelaksanaan  pekerjaan  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1) diatur  dalam  perjanjian  kerja  secara  tertulis  antara  perusahaan  lain  dan  pekerja/buruh yang dipekerjakannya.

(6) Hubungan   kerja   sebagaimana   dimaksud   dalam   ayat   (6)   dapat   didasarkan   atas perjanjian  kerja  waktu  tidak  tertentu  atau  perjanjian  kerja  waktu  tertentu  apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59.

(7) Dalam   hal   ketentuan   sebagaimana   dimaksud   dalam   ayat   (2)   dan   ayat   (3)   tidak terpenuhi,  maka  demi  hukum  status  hubungan  kerja  pekerja/buruh  dengan  perusahaan penerima    pemborongan    beralih    menjadi    hubungan    kerja    pekerja/buruh    dengan perusahaan pemberi pekerjaan.

(8) Dalam  hal  hubungan  kerja  beralih  ke  perusahaan  pemberi  pekerjaan  sebagaimana dimaksud   dalam   ayat   (8),   maka   hubungan   kerja   pekerja/buruh   dengan   pemberi pekerjaan sesuai dengan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (7).

Pasal 66

(1) Pekerja/buruh  dari  perusahaan  penyedia  jasa  pekerja/buruh  tidak  boleh  digunakan oleh   pemberi   kerja   untuk   melaksanakan   kegiatan   pokok   atau   kegiatan   yang berhubungan  langsung  dengan  proses  produksi,  kecuali  untuk  kegiatan  jasa  penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.

(2) Penyedia  jasa  pekerja/buruh  untuk  kegiatan  jasa  penunjang  atau  kegiatan  yang  tidak berhubungan   langsung   dengan   proses   produksi   harus   memenuhi   syarat   sebagai berikut :

a.   adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;

b.   perjanjian  kerja  yang  berlaku  dalam  hubungan  kerja  sebagaimana  dimaksud  pada huruf  a  adalah  perjanjian  kerja  untuk  waktu  tertentu  yang  memenuhi  persyaratan sebagaimana   dimaksud   dalam  Pasal  59  dan/atau  perjanjian  kerja  waktu  tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak;

c.   perlindungan  upah  dan  kesejahteraan,  syarat-syarat  kerja,  serta  perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; dan

d.   perjanjian  antara  perusahaan  pengguna  jasa  pekerja/buruh  dan  perusahaan  lain yang   bertindak   sebagai  perusahaan  penyedia  jasa  pekerja/buruh  dibuat  secara tertulis dan wajib   memuat   pasal-pasal   sebagaimana   dimaksud   dalam   undang- undang ini.

(3) Penyedia  jasa  pekerja/buruh  merupakan  bentuk  usaha  yang  berbadan  hukum  dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

(4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf b, dan  huruf  d serta  ayat  (3)  tidak  terpenuhi,  maka  demi  hukum  status  hubungan  kerja antara   pekerja/buruh   dan perusahaan   penyedia   jasa   pekerja/buruh   beralih   menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaaan. [2]

Pasal 64 menjelaskan tentang aturan awal diberlakukannya outsourcing di Indonesia, bahwa perusahaan dapat mengalih-dayakan pekerjaannya kepada perusahaan lainnya dengan mekanisme pemborongan kerja secara tertulis.

Pasal 65 merupakan penjelasan mengenai bentuk perusahaan outsorcing, ketentuannya, dan perjanjian hubungan kerja antara perusahaan outsourcing dan perusahaan pengguna.

Pasal 66 menjelaskan tentang bahwa pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa tenaga kerja tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Perusahaan penyedia jasa untuk tenaga kerja yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi juga harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain :

  • adanya hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja;
  • perjanjian kerja yang berlaku antara pekerja dan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu atau tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani kedua belah pihak;
  • perlindungan upah, kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
  • perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis.

Pada pekerjaan yang berhubungan dengan kegiatan usaha pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, pengusaha hanya diperbolehkan mempekerjakan pekerja/buruh dengan perjanjian kerja waktu tertentu dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Sementara kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok (core business) suatu perusahaan. Kegiatan tersebut antara  lain: usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh catering, usaha tenaga pengaman (security), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh.

Pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh memperoleh hak (yang sama) sesuai dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama atas perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul dengan pekerja/ buruh lainnya di perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh. Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja maupun penyelesaian perselisihan antara penyedia jasa tenaga kerja dengan pekerja/buruh harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

PRAKTEK OUTSOURCING DAN PERLINDUNGAN HAK PEKERJA

Praktek outsourcing saat ini semakin marak, namun hak-hak pekerja begitu saja diabaikan oleh perusahaan yang menggunakan jasa outsourcing. Tenaga kerja yang dikeluarkan oleh perusahaan outsourcing ternyata belum sepenuhnya bisa dikatakan “ahli”. Selain itu, terkadang positioning mereka salah, sehingga timbullah dampak dari the wrong man on the wrong place yang mengakibatkan ke-tidak-maksimal-an pekerja.

Dalam Pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa “Negara Indonesia melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.   

Kemudian dalam pasal 27(2) UUD 1945 menyatakan bahwa: “Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan “. Dari amanat para pendiri Republik dapat kita pahami bahwa tujuan pembangunan ketenagakerjaan adalah menciptakan lapangan pekerjaan bagi warga negara untuk mendapatkan penghidupan yang layak.

H. Zulkarnain Ibrahim S.H dalam analisisnya mengatakan bahwa UUK sebagai penjabaran dari UUD 1945 dan TAP MPR, telah mengatur perlindungan terhadap hak-hak pekerja, antara lain: 1. perlindungan PHK; 2. jamsostek; 3. upah yang layak dan tabungan pensiun. Dalam praktek outsourcing, hak-hak tersebut merupakan sesuatu sangatlah mahal untuk didapat oleh para pekerja outsourcing. Karena status pekerja outsourcing adalah pekerja pada PT.A, tapi harus bekerja pada PT.B dengan waktu kerja: 6 bulan, 1 tahun atau 2 tahun.

Dampak selanjutnya yang akan timbul dari outsourcing ini adalah resiko Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Jika terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha dapat diwajibakan oleh Hubungan Industrial untuk membayar Uang Pesangon (UP) dan atau Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK) dan uang penggantian hak (PH). Untuk UP menurut pasal 156 (2) UUK adalah sebagai berikut:

Tabel 1

Uang Pesangon Minimal Menurut UUK Pasal 156 (2)

No

Masa Kerja

Upah yang Didapatkan

1 kurang dari 1 tahun 1 bulan upah
2 1 tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 tahun 2 bulan upah
3 2 tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 tahun 3 bulan upah
4 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari  4 tahun 4 bulan upah
5 4 tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 tahun 5 bulan upah
6 5 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun 6 bulan upah
7 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 tahun 7 bulan upah
8 7 tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 tahun 8 bulan upah
9 8 tahun atau lebih 9 bulan upah

Sedangkan besarnya UPMK menurut pasal 156 (3) UUK sebagai berikut:

Tabel 2

Besarnya UMPK menurut Pasal 156 (3) UUK

No

Masa Kerja

Upah yang Didapatkan

1 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun 2 bulan upah
2 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 tahun 3 bulan upah
3 9 tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 tahun 4 bulan upah
4 12 tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 tahun 5 bulan upah
5 15 tahun atau lebih  tetapi kurang dari 18 tahun 6 bulan upah
6 18 tahun atau lebih  tetapi kurang dari 18 tahun 7 bulan upah
7 21 tahun atau lebih  tetapi kurang dari 24 tahun 8 bulan upah
8 24 tahun atau lebih 10 bulan upah

Untuk UPH dalam pasal 156 (4) UUK meliputi:

  1. Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
  2. Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja dan keluarganya ke tempat di mana pekerja diterima bekerja.
  3. Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan sebesar 15 % dari UP dan UPMK bagi yang memenuhi syarat;
  4. Hal-hal lain ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau PKB.

Dengan perjanjian kerja dalam bentuk outsourcing, maka pasal 156 (2) dan 156 (3) UUK, akan terkesan hanya menjadi hiasan dalam UUK. UP dalam pasal 156 (2) maksimum hanya untuk upah 2 bulan kerja. Sebab dalam prektek, sebagai berikut:

  1. UP dalam pasal 156 (2) maksimum hanya untuk upah 2 bulan kerja, sebab lama  bekerja bervariasi 6 bulan, 1 tahun dan 2 tahun.
  2. UPMK pasal 156 (3) tidak mungkin didapat oleh para pekerja outsourcing, karena pekerja yang di PHK minimal telah bekerja selama 3 tahun untuk mendapatkan UPMK 2 bulan upah.
  3. UPH seperti biaya atau ongkos pulang untuk pekerja dan keluarganya ke tempat di mana pekerja diterima bekerja, sangat jarang untuk didapat oleh pekerja; sebab lamaran penerimaan dan seleksi dilakukan di kota tempat perusahaan. Apalagi jenis pekerjaannya tidak memerlukan keahlian khusus.

Hak Jamsostek

Hak pekerja outsourcing terhadap jamsostek, tidak jelas disebutkan di dalam perjanjian kerjanya. Pekerja outsourcing pada PT.Jamsostek mencantumkan hak untuk mendapatkan jaminan dari 4 program jamsostek, yaitu: 1. program jaminan kecelakaan kerja, 2. program jaminan kematian, 3. program jaminan tabungan hari tua, 4 program jaminan pemeliharaan kesehatan. Namun yang menjadi pertanyaan tentang hak terhadap program jaminan tabungan hari tua. Sebab perjanjian kerja outsourcing waktunya paling lama 2 tahun.

Hak Upah Yang Layak  dan Hak Tabungan Pensiun

Upah yang diperoleh oleh pekerja outsourcing biasanya dalam bentuk Upah Minimum Propinsi (UMP) yang besarnya disesuaikan dengan daerah masing-masing. Walaupun ada kenaikan upah setiap tahun, hal tersebut dikarenakan adanya perubahan Peraturan Daerah tentang UMP untuk penyesuaian saja.

Kehendak untuk mendapatkan upah yang layak, jauh dari harapan para pekerja outsourcing. Untuk pekerja tetap saja belum tentu mendapat upah yang layak. Namun paling tidak ada kreteria dalam penentuan skala upah, misalnya melalui penjenjangan upah.

Demikian juga terhadap tabungan pensiun tidak mungkin akan didapatkan oleh pekerja outsourcing, walaupun mereka selalu memperpanjang perjanjian dari waktu ke waktu. Oleh karena itu perlu ada ketegasan dalam peraturan per-uu-an bahwa setelah kontrak pertama atau kedua berakhir, pekerja outsourcing harus diangkat menjadi pekerja tetap pada perusahaan tersebut.

Solusi

Solusi yang penulis tawarkan untuk ini adalah sebagai berikut:

  1. Pemerintah segara melakukan kajian kembali dan merevisi UU ketenagakerjaan No.13 khususnya untuk Pasal 64-66 sehingga mekanisme yang seharusnya tentang outsourcing lebih jelas.
  2. Perusahaan Outsourcing bisa lebih memerhatikan keadaan tenaga kerja yang akan disalurkan agar tidak terjadi kesalahan positioning pada perusahaan penggunba jasa outsoucing.
  3. Perusahaan Pengguna Jasa Outsourcing bisa lebih memerhatikan hak-hak pekerjanya karena pekerja outsourcing tetap mendapatkan hak yang sama dengan pekerja tetap perusahaan. Perusahaan pengguna jasa Outsourcing juga selayaknya  mempertimbangkan pekerja outsourcing untuk dijadikan pekerja tetapnya sehingga bisa mengurangi resiko PHK.

Referensi:

Ibrahim, Zulkarnain. Praktek Outsourcing dan Perlindungan Hak-hak Pekerja. 2005

Nedeng, I Wayan. Lokakarya Dua Hari : Outsourcing Dan PKWT, PT. Lembangtek, Jakarta, 2003

UU RI No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

http://www.jurnalhukum.blogspot.com


                [1] I Wayan Nedeng, Lokakarya Dua Hari : Outsourcing Dan PKWT, PT. Lembangtek, Jakarta, 2003, hlm. 2.

[2] UU RI No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Leave a comment